twitter






DEN HAAG, – Apa yang Anda bayangkan jika proses belajar mengajar berlangsung di sebuah kelas yang murid- muridnya terdiri atas jenjang SD, SMP, hingga SMA? Paling tidak, sang guru bakal kerepotan melayani pertanyaan murid yang belakangan ini makin berdaya dan kritis sebagai konsekuensi atas kemajuan perkembangan teknologi informasi.

Nah, itulah yang mewarnai aktivitas pembelajaran di Sekolah Indonesia Nederland (SIN), Wassenaar, di tepi kota Den Haag, Belanda. Wartawan Kompas Nasrullah Nara dari Den Haag melaporkan, setiap hari, guru di sekolah tersebut harus bisa menghadapi sekitar 60 murid dalam sebuah kelas yang berjenjang dari SD, SMP, hingga SMA. Karena keterbatasan jumlah pengajar, manajemen sekolah tersebut menerapkan pola pembelajaran multi subyek .

Dalam setiap jam pelajaran, kami harus pandai-pandai membuat pembelajaran interaktif dengan memberikan materi sesuai kebutuhan peserta didik yang beragam jenjang itu.

Misalnya, pada saat siswa SD diberi materi tentang sains, siswa jenjang lainnya diberi aktivitas untuk mengerjakan tugas lain . Namun, situasi harus selalu diarahkan agar siswa aktif berinteraksi dengan teman sekelas dan guru sehingga suasana pembelajaran menjadi dinamis, ujar Kepala SIN, Arbayah Kumalawati, saat ditemui Kompas, Sabtu (24/9/2011) .

Guna mendukung proses belajar tersebut, sumber mata ajar tak hanya mengacu pada buku pelajaran, tetapi juga internet. Di setiap meja belajar siswa terdapat perangkat komputer yang terakses dengan jaringan multimedia.

Kumalawati juga memaparkan proses belajar yang berpola multi lingual. Pada jam tertentu, interaksi pembelajaran menggunakan bahasa pengantar dengan Inggris. Pada kesempatan lain, menggunakan bahasa Belanda dan Jerman. Kumalawati sendiri, sebelum menjabat kepala SIN tahun 2010 lalu, tercatat sebagai kepala sekolah di sebuah sekolah bertaraf internasional di Tarakan, Kalimanan Timur.

Pengalaman di Tarakan cukup membantu saya mengelola pembelajaran di sini, tetapi tentu saja tantangan di sini tentu lebih besar, kata Kumalawati.

Jumlah guru di SIN tidak sampai 5 orang. Salah satu yang hadir saat itu, Dessy Nataliani, mengaku amat bergairah mengajari anak-anak Indonesia yang berwawasan luas dan dengan kecakapan ber bahasa asing memadai.

Menurut Atase Pendidikan RI untuk Belanda, Ramon Mohandas, SIN yang berdiri sejak tahun 1960-an itu bertujuan memberikan pelayanan pendidikan tehadap putra-putri diplomat dan staf Kedutaan Besar RI di Belanda.

Namun beberapa di antaranya juga dari putra-putri diplomat di Brussel, serta anak-anak dari warga negara Indonesia yang bekerja di Belanda dan sekitarnya. Kurikulum di SIN tetap mengikuti standar nasional di dalam negeri meski bernuansa global.

Bisa disebut sekolah ini juga bernuansa multikultural. Muridnya berasal dari beragam suku bangsa di Nusantara, tetapi juga berwawasan global di tengah pergaulan antarbangsa, ujar Ramon menggambarkan atmosfer pembelajaran di sekolah yang tak jauh dari jalan poros Den Haag-Amsterdam itu.

Pada momen tertentu, seperti peringatan hari Kemerdekaan RI, di lingkungan sekolah digelar atraksi kesenian bercorak Nusantara dihadiri berbagai kalangan, termasuk orang Belanda yang kakek neneknya pernah berdiam di Indonesia.


0 komentar:

Posting Komentar